Jumat, 28 Mei 2010

KATA MAAF KU...

Matahari merangkak tinggi. Hari sudah semakin dewasa, langit biru yang membentang indah tetap setia memayungi bumi. Pohon-pohon yang berderet di sepanjang jalan selalu meniupkan kesegaran hidup. Angin semilir nan sejuk yang selalu jadi kerinduan para perantau tetap menyanyikan lagu merdu membelai daun-daun kehidupan yang terus bergeliat. Suara angin sepoi-sepoi ditambah kicauan burung nan indah menambah lengkap kerinduan itu.

Batang toru, pasar induk di kecamatan ini seakan tak pernah mati. Selalu hidup mendenyutkan jantung setiap penduduknya yang selalu bergumul dengan aktivitas yang tiada henti. Letaknya yang tepat di jantung kecamatan membuatnya selalu ramai dari aktivitas perdagangan yang semakin hiruk-pikuk dari hari ke hari seiring dengan perkembangan sebuah kecamatan kecil miskin akan sumber daya, tapi tetap kaya akan kebersahajaan penduduknya yang berhartakan bukit-bukit dan gunung-gunug terjal. Di pasar ini pula tempat transit bus-bus antar kota yang berisikan pendatang-pendatang yang ingin menuju desa-dasa terpencil. Termasuk kampungku.
Delapan tahun. Ya...butuh waktu selama itu untuk dapat menjejakkan kakiku kembali di kota kelahiran kebanggaanku. Sebuah perjalanan panjang mencari jati diri hakiki. Mencapai sebuah cita-cita idealis. Menjadi manusia berharga. Tak sekadar lahir, besar, mati di sebuah desa kecil berama hapesong . Aku tak ingin menjadi manusia statis. Sebuah keinginan luar biasa bagi seorang remaja 16 tahunan kala itu. Tetap kuputuskan pergi. Walau semua menentang, karena aku adalah anak laki-laki terakhir dari tujuh bersaudara yang selau dimanja dan diragukan setiap langkahnya. Aku pergi agar kelak bisa membatu meningkatkan perekonomian keluarga. Semua marah, sedih dan menangis. Kerena itu adalah resiko kehidupan. Hanya bapak yang diam membisu. Tak mengucapkan sepatah katapun. Tidak marah. Tidak sedih, tidak juga gembira. Hanya diam. Ah...bapak bagaimana kabarmu sekarang?

“Mas, mau kemana? Ayo naik becak saya aja!” Tanya seorang tukang becak ketelingaku menyadarkanku dari lamunan. Bahasa indonesia dengan Logat khas batak membuatku tersenyum. Aku hanya tesungging kecil . Segera saja tukang becak yang lain bergerombol menggerumuniku. Hal biasa. Setiap pendatang memang selalu menjadi incaran untuk dirayu. Lumayan bisa untuk nambah penghasilan. Semua berebutan menarik. Ada yang menarik tasku, ada juga yang menarik baju dan tanganku. Pokoknya sekenanyalah. Jangan marah, batinku.
“Got tu hapesong do au, sadia ongkos sannari Abang ? Tanyaku pada mereka. Dengan bahasa batak yang agak canggung untuk ku gunakan. Walau aku asli orang batak tulen dengan menyandang marga kebanggaan Nasution. Tapi kurang bisa menggunakan bahasa batak dengan baik. Terkadang abangku sempat marah kalau aku pake bahasa batak di depannya. Pasalnya dialek yang ku gunakan nggak sesuai dengan kaidah batak.
“Sapulu ribu ma, madung murah mai ” sahut salah seorang di antara mereka. Tukang becak yang lain mebubarkan diri dengan teratur karena aku sedang nego dengan salah seorang di antara mereka.

“Na godang mai Abang, Alak ison do Au!” aku keluarkan jurus maut. Bilang asli sini, bisanya tukang becak bisa sedikit lunak dalam bernegosiasi.
“Lima ribu ma, olo? Tawarnya lagi.
“Sampe do tu Hapesong kan abang? Tanyaku lagi.
“Olo, tenang ma ho amang, U paijur ko di jolo bagasmu !” (Paham juga dia bahasa batak amburadul ku, He...He...He..!) aku terbelalak kaget dan langsung mengiyakan. Becak yang biasa mengatar hanya sampai di ujung aspal kampungku kini sudah bisa mengantar sampai gerbang rumahku. (Eh..Emang rumah Lo ada gerbangnya? He..he..he...). subahanallah!. Allah sungguh Maha adil. Delapan tahun yang lalu jalan ke desaku masih berdebu dan berbatu, sebuah desa kecil di tepi sungai jernih, diapit perkebunan luas milik perusahan PN3 dengan medan yang luar biasa sulit, adalah suatu hal yang mustahil yang hanya bisa diimpikan, paling banter, jalan hanya ditimbun dengan kerikil oleh mobil perusahaan. Tak pernah ku bayangkan dusun kecil ini bisa tersentuh modernisasi.

Ah...Bapak, seandainya dulu desa kita sudah semaju ini, kau tak perlu memikul puluhan buah jeruk hasil panenmu di pundakmu. Dengan kaki gemetar karena beban yang kau pikul begitu berat. Tanpa alas kaki menembus jalan yang penuh onak dan duri. Jalanan yang terjal, sempit, berair, dan terkadang kau harus melewati dua anak suangai yang begitu licin dan berlumpur, dikelilingi jurang yang curam di kanan-kiri yang semua itu harus kau tempuh selama berjam-jam. Semuanya demi sesuap nasi untuk membesarkan anak-akamu di tengah pergumulan hidup yang papa dengan segala keterbatasan sebuah desa miskin. Tak terhitung berapa kali bapak terjatuh dan terluka. Namun, semua itu tak pernah menumbangkan tekadmu untuk tetap jadi pohon tempat kami menyandarkan nafas kehidupan kami.

Jalan yang dilalui becak sangat sejuk dan indah. Kemurnian alamnya masih tetap tejaga. Pohon karet perkebunan masih tersusun rapi dan menarik. Bukit-bukitnya masih terlihat hijau karena terjaga dari ilegal logging. ketika melewati desa Sipente terpampang tulisan “WECOME TO HAPESONG ESTATE” yang dibuat oleh perusahaan yang menandakan desaku sudah tidak jauh lagi. Dan terkadang masih terlihat monyet-monyet manis dipepohonan sedang bergantung ria walaupun terkadang mereka turun dan melintas di jalanan. Pemandangan yang begitu indah untuk dilukiskan yang membuka kembali kenangan indah yang sudah tersusun rapi di memoriku beberapa tahun yang lalu.

Tiba-tiba sang supir becak kaget, ketika melitas sebuah truk yang ugal-ugalan tanpa merasa sedikitpun bersalah. Sang supir kewalahan mengendalikan becaknya. Sedang aku tergugu pasrah. Jurang yang dalam bersiap melahap kami. Tapi...Alhamdulillah. Bang becak yang sudah profesional karena bertahun-tahun sudah menekuninya, yang seakan becak sudah menyatu dalam tubuhnya menjadikan kami selamat dari mulut jurang yang sudah menganga di depan mata. Hahh... aku menarik nafas lega. Allah Mahabesar. Sungguh, kalau bukan karunia dan rahmad Allah mungkin aku dan bang becak tak akan selamat. “Ya Allah jadikanlah aku hambamu yang senatisa bersyukur akan nikmat-nikmatmu, Amien” Terucap do’a dari lisanku.

Di hapesong ini terdapat satu SD dan ada SD lain di desa sebelahnya. Ketika aku masih kecil, aku termasuk anak yang palin ngotot untuk tetap sekolah, dan sekolahnya pun harus sekolah di SD perkebunan. Padahal SD itu disediakan khusus untuk anak-anak perkebunan, tapi aku ngtot dan minta ke ibu agar aku bisa sekolah di SD itu. Walau Bapak dan mamak tak pernah mendukungku sekolah di SD tersebut. Aku tatap nekat. Yah...dengan keterbatasan yang harus kutelan. Maklumlah untuk makan cukup saja sering kesusahan. Tak pernah cukup sisa tenaga untuk memikirkan sekolah. Ditambah lagi dengan ejekan teman-teman yang terkadang mengucilkan karena aku bukan anak kariyawan perkebunan. Tapi ada juga di antara mereka yang punya hati seperti muatiara.

Waktu SMP aku berangkat sekolah setelah shalat subuh bahkan terkadang sebelunya. Dalam keadaan fajar yang masih gelap karena sang rajasiang belum menampakan wajah manisnya. Dengan berbekal obor atau terkadang sebatang lilin aku harus berangkat mengejar mobil perkebunan yang disediakan perusahaan. Padahal mobil itu disediakan hanya khusus untuk anak kariayawan perusahaan. Tapi perusahaan memberi kelonggaran untuk anak-anak lain untuk ikut bersama mereka. Aku baru pulang ke rumah jam tiga sore. Itupun aku harus di suruh ke ladang nemani ayah atau ibu ke sawah atau terkadang ke ladang untuk panen jaruk, yang semua itu aku lakukan untuk kelangsungan sekolahku.
Tak jarang aku merasa lelah dan ingin berhenti sekolah. Tapi semua itu segera kutepis jauh-jauh. Aku ingin jadi orang pinter, (tekadku kala itu) ibuku ingin aku menjadi orang yang berguna, pandai mengaji, baik hati dan tidak sombong.
Tanpa ku sadari, bang becak sudah berhenti di depan rumahku. Bapak, Mamak, Zakie sudah pulang!. Rumahku sudah banyak berubah. Sungai jernih di belakang rumah sudah tak sejernih dan seindah dulu. Tempat persembunyianku ketika main petak umpet sudah tidak kudapatkan lagi. Gudang kilang padi sudah seperti bangunan yang hampir roboh dimakan usia. cat rumah sudah berubah. Orang-orang desa yang kebetulan lewat menatapku heran penuh selidik dan tanda tanya. (Kaya teroris aja..!)

Dari dalam rumah muncul wanita berkebaya dengan rambut tertutup bolang, tapi tatap tak mampu menyembunyikan rambut putihnya yang menua. Mamak...beliau bukan lagi wanita cantik seperti dalam ingatanku. Wajah teduhnya yang tenang sekarang telah dipenuhi kerutan-kerutan kesulitan hidup. Wanita tegar yang telah berjuang keras bersama bapak membesarkan anak-anaknya. Aku, Aan, Lila Nisaul Jannah, Fitroh Mar’ah Solihah, dan abang-abangku yang lain. Tapi ia adalah ibuku yang tetap menawan yang akan selalu ku rindukan sepanjang masa.

Aku segera berlari memeluk mamak. Tak ku hiraukan rasa penat dan lelah yang menghajar tubuhku. Tak terkira bahagia yang membunca dalam rongga dadaku. Walau air mata mengalir membanjiri wajahku. Itu bukan berarti aku cengeng....!

“Zakie...ho dei amang ...! hanya itu yang bisa diucapkan mamak. Tangisnya yang terseduh dan pelukan hanganya yang menggantikan kata-katanya.
“Minta maaf, mak. Zakie mungkin sudah banyak melakukan kesalahan!” mamak membelai rambut lembutku. Dan menuntunku masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah ku lihat ada beberapa orang, mereka semua tersenyum melihat kecengenganku padahal itu adalah air mata rindu yang selama ini ku tahan dan akan ku curahkan ketika bertemu ibu.

Lila Nisaul Jannah dengan jilbab hitamnya, yang semakin cantik dengan senyum khasnya, Fitroh Mar’ah Solihah dengan hidung pesek dan wajah putihnya ikut menangis melihat kedantanganku. “Ko nangis dek, abang kesayangannya dantg ko sedih sih” Tanyaku untuk menghibur dan mengusir ketegangan yang terjadi.
“Ini kan tangis bahagia bang, bahagi karena liat abangnya pulang kerumah. Bahagia karena Anbang yang paling disayangi dan paling ganteng bisa berjumpa lagi. Apa salah.?” Jawab Fitroh

“Oh, Gitu to Ndo’, abang pengen liat Fitroh Mar’ah Solihah marah aja”? kan kalau marah makin manis dan lucu...!” Pujiku, “Ih...abang makin jaat Ya?” Balasnya. Mamak nayakan aku kapan akan nikah. Aku jadi malu, padahal teman-teman susia denganku sudah pada nikah.

“Bapak?” aku bertanya singkat.
“Bapak habis selesai nderes, langsung ke agen penampung untuk di jual” mamak menjelaskan.

“Bapak masih nderes ya ma?”
“Mau usaha apa lagi. Cuma itu yang kita punya, amang! Yang penting kan halal?” Ucap mamak lirih. Kata-kata mamak seakan menohokku. Sudah setua ini, bapak tak juga berhenti nderes getah, Memenen sawit, dan panen cokelat.

Sebagai anak laki-laki yang gagah perkasa kemana saja kau ini? Membiarkan bapakmu yang sudah tua memikul getah deresannya sendiri, mengangkat buah sawit dari batangnya, memanen dan menjemur cokelat, berusaha mencari makan seorang diri. Sedang aku hanya diam melarikan diri, setelah menutup mata pada kenyataan ini. Mana tanggung jawabmu sebagai sorang anak? Apa yang sudah kamu lakukan untuk membuktikan baktimu kepada mereka? Apakah kamu termasuk orang yang egois?”. Ampuni hambah ya Allah, yang sudah begitu tega menyia-nyiakan orang tua hamba sendiri. “Sesalku dalam hati.”

“Sholat dulu, makan. Baru nyusul bapak ke tempat penjualan getah” mamak lalu menyuruh Lila untuk mengangkat tas bawaanku. Dengan wajah penuh kesal, ia turuti juga. Adikku yang tomboi ini bisanya sering kesel kalau waktu ia sedang serius ikut ngobrol disuruh. “Dah kerjain yang ikhlas” Bisikku kepadanya.

Selesai shalat zuhur, aku pergi ke ke tepat penimbangan. Dan melewati kebun karet kami. Kebun kecil yang menjadi tumpuan hidup kami sekeluarga. Di mataku bapak adalah sosok pekerja keras. Terlalu keras bahkan. Bapak seakan tak pernah peduli pada tubuhnya. Pergi subuh, pulang malam. Begitu terus keadaan yang kusaksikan sendiri sampai usiaku 16 tahun. Perjalanan dari rumah ke ladang yang harusnya ditempuh dalam waktu setengah jam, bisa bapak tempuh dalam waktu sepuluh menit. Berjalan tanpa alas kaki. Bapak tak pernah istirahat kalau sudah bekerja. Begitu satu pekerjaan selasai, langsung mengerjakan yang lain. Sebuah rutinitas melelahkan yang mungkin bagi sebagian orang takkan mungkin sanggup menjalankannya selama bepuluh-puluh tahun.
Ketika sampai di tempat penimbangan. Aku lihat bapak sedang shalat dengn khusyu’nya. Seletih apa pun, sesibuk apa pun beliau tidak pernah lupa kepada Allah. Hanya pada saat itu kulihat wajah bapak yang tenang.

“Allah itu kekuatan bapak untuk membesarkan kalian.” Kata bapak suatu hari. Ah, bapak. Zakie tak pernah berhenti mengagumi bapak. Saat panen, bapak masih sempat berbagi cerita dan menghibur kami. Sebuah hiburan yang terkadang membuat kami bangga memiliki bapak sepertinya. Ia bercerita tentang banyak hal, mulai cerita humor, politik, sejarah dan hal-hal lain tentang hidup dan kehidupan. Dari situlah aku kemudian terdidik dan termotivasi. Selain itu, bapak adalah pemburu ikan terhebat yang pernah ku tahu. Kalau udah bawa jala bakal ketangkep tu semua ikan yang ada di suangai. Kenangan itulah yang selau kubangga-banggakan pada orang-orang di perantauan.

Setelah bapak selesai shalat, aku menghampiri beliau. Aku langsung mencium tangan beliau dan hanya bisa menangis. Tangan bapak yang dulu kekar, kini lemah dan tergores di sana-sini. Begitu kutengadahkan kepala, kulihat mata bapak tergenang air mata. Bapak yang selalu menyimpan letihnya sendiri, yang tak pernah mengeluh, tak pernah marah, yang selau tabah dalam menghadapi hidup yang sangat sulit sekalipun, kini harus menangis!

“Bapak mau mara sama Zakie, mau pukul Zakie, silahkan pak!” aku menghiba-hiba agar bapak agar bapak mau menumpahkan marah dan sedihnya yang sudah beliau pendam selama betahun-tahun lamanya.

“Bapak tahu, kamu pasti pulang, nak.” Ucap bapak sambil menyunggingkan senyum khasnya. Bapak kuperhatikan dengan seksama. Rambut hitamnya kini sudah berubah putih. Bahunya yang tegak kini terbungkuk. Tubuh tegapnya kini berubah ringkih. Bapak, betapa sudah terlalu rentahnya bapak di usiamu yang belum genap 60 tahun. Begitu banyak derita yang terukir jelas di guratan-guratan wajahmu.
“Bapak kenapa ndak marah?” aku benar-benar ternganga.
“bapak nggak berhak marah. Hidupmu, kamu sendiri yang memperjuangkannya. Bapak Cuma punya tugas membesarkan kamu. Kamu selamat dan bisa pulang, bapak sudah senang.” Bapak membelai rambutku penuh sayang.

Sunggu, kau tetaplah pribadi lugu yang begitu menerima dan tak pernah ingin mengotori mulutmu dengan kata-kata kasar.
Bapak yang selau menyayangi keluarga dengan caranya sediri. Bagiku, bapaklah pahlawan paling nyata dalam hidupku. Yang selalu mengistimewakanku. Walaupun aku belum dapat memberi hal yang berati baginya. Tapi aku berjanji dan berdo’a kepada Allah agar menjdi anak yang selalu berbakti dan mendo’akannya.
Oleh Marzuki Nasution
untuk versi aslinya silahkan download di sini

0 komentar:

 
100 Blog Indonesia Terbaik

Iklan

Review ricovery-lalerijo.blogspot.com on alexa.com

RICO WIDIARNO Copyright © 2010